Tentang ‘Miswanting’

Barusan saya membaca sebuah tulisan di CNBC(dot)com tentang sebuah kelas populer di Yale yang berjudul The Science of Well-Being. Artinya kira-kira Sains Kebahagiaan. Kelas tersebut diisi oleh seorang profesor psikologi dan sains kognitif bernama Laurie Santos tentang hal-hal yang kita inginkan dalam hidup yang belum tentu membuat kita bahagia, seperti yang kita bayangkan sebelum mendapatkannya.

Miswanting secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah ide di mana manusia seringkali salah memprediksi sebahagia apa mereka setelah memiliki sesuatu di masa depan (how much they’ll enjoy something in the future). Saya belum mengikuti kelasnya, dan berencana nanti setelah waktu agak lapang akan ikut. Dalam tulisan tersebut, yang ditulis oleh Dave Schools, salah satu hal yang sering jadi miswanting oleh manusia adalah, tidak lain dan bukan, uang.

Santor mengatakan: “Money doesn’t increase happiness in the way that we think. Our minds are lying to us about how much of an impact extra cash will have on our happiness.” (Uang tidak menambah kebahagiaan dengan cara yang kita pikirkan. Pikiran kita membohongi diri kita sendiri dengan menganggap bahwa lebih banyak uang adalah jawabannya).

Frasa “money can’t buy happiness” sudah terkenal di mana-mana lah ya. Namun yang berbeda adalah sampai sejauh apa. Di kampung, mungkin 500rb sebulan sudah bisa memenuhi kebutuhan pokok dan jajaln. Di kota besar, 500rb mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Perdebatan ini menurut saya akan selalu jadi diskusi hangat di semua generasi, jadi tidak akan saya bahasa dalam tulisan ini.

Satu hal yang membuat saya ingin menulis adalah kalimat berikut: “Practices like meditation, gratitude and making time for social connections have the biggest effect on our well-being, she says, adding that they’re much easier to attain” (Meditasi, rasa syukur, dan bersosialisasi memberi dampak paling besar terhadap kebahagiaan manusia. Salah satu alasannya adalah karena ketiganya mudah dilakukan). Kebetulan baru saja kemarin saya diskusi buku dengan teman mengenai keutamaan ibadah untuk rezeki, dan bagi saya rezeki terbesar adalah kebahagiaan, bukan?

Kenapa kalimat tersebut menjadi sorotan? Karena pada usia 32 tahun ini, saya baru menyadari betul esensi ibadah yang sejak kecil lebih sering saya praktikkan seperti robot. Kenapa shalat, bersyukur, dan muamalah sangat diatur? Karena dampaknya yang sangat krusial bagi well-being kita. Ketiga aktivitas ini mungkin terselihat sepele dan biasa, tapi percayalah… Ketika pikiran sedang kalut, bagi orang yang depresi, kesepian, biasanya jawabannya adalah salah satu atau bukan ketiga di atas.

Seberapa sering kita mendengar berita milioner bunuh diri. Uang banyak, tetapi tidak sanggup melanjutkan hidup. Seberapa sering kita melihat di sekitar kita orang yang bergelimangan harta, tetapi dihinggapi banyak penyakit karena depresi? Tapi kenapa hingga saat ini, uang masih menjadi semacam orientasi utama dalam menjalani hidup?

Saya tidak sedang menafikan kebutuhan materialistis. Tentu kita perlu makan, tempat berlindung, pakaian, keluarga, dan teman untuk merasa lengkap. Saya juga pernah hampir depresi karena dompet dan rekening yang sudah lama kosong, dan tentu membuat saya sengsara. Yang saya sorot disini bukanlah uangnya, atau jumlahnya. Tetapi niat, tujuan, dan prinsip. Ketika mencari uang diniatkan untuk menghidupi keluarga, membahagiakan orang tua, membantu yang kesulitan, saya yakin seberapa banyakpun uang yang kita miliki, kita akan tetap bahagia.

Menurut Santor, apa yang benar-benar membuat kita bahagia sangat berbeda-beda pada setiap individu. Karena prioritas, tujuan hidup, prinsip, dan idealisme yang berbeda pula. Namun pada prinsipnya, apapun tujuan hidup kita, yang membuat kita bahagia seharusnya tidak sulit didapatkan sesuai kapasitas kita. Hidup ini singkat, sebentar saja. Selain ingin meninggalkan jejak dan kontribusi untuk yang akan kita tinggalkan, jangan sampai kita lupa untuk membahagiakan diri dengan cara yang sederhana saja.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin membagian temuan sebuah artikel yang ditulis oleh Nanum Sofia dan Endah Puspita Sari yang berjudul Indikator Kebahagiaan (Al-Sa’adah) dalam Perspektif Alquran dan Hadis. Terdapat 164 ayat dari 122 surat Alquran dan 24 dalil hadis tentang kebahagiaan (alsa’adah). Dari keseluruhannya, penulis merangkum 17 indikator kebahagiaan menurut Alquran dan Hadis.